DAMPAK TAYANGAN KRIMINALITAS DI TELEVISI
- Latar Belakang Masalah
Pada zaman monopoli sebuah stasiun televisi di Indonesia, program berita yang disajikan pada umumnya membosankan karena hanya sekadar menyajikan acara-acara seremonial para pejabat pemerintah atau peresmian proyek belaka. Kalaupun ada berita yang menyentuh peristiwa-peristiwa aktual dan menarik, pun jarang ditayangkan, bahkan harus disensor dahulu agar tidak mengganggu kepentingan penguasa saat itu.
Barulah setelah monopoli tersebut dicabut pada akhir 1980-an, sederet stasiun televisi pun bertumbuhan di bumi Indonesia, maka program-program berita pun bertransformasi menjadi program-program yang berlomba-lomba menyajikan berita aktual tentang keseharian di masyarakat, termasuk pula berita politik yang semula tabu ditayangkan dan berita infotainment. Apalagi begitu era reformasi bergulir, berita-berita pun makin menggila ragamnya dan rasanya tidak ada lagi apa yang tabu untuk ditayangkan.
Penayangan berita-berita politik pun menjadi primadona namun seiring waktu berlalu, masyarakat pun mulai jenuh disajikan berita-berita jenis itu. Mereka membutuhkan tayangan berita alternatif yang lebih menyentuh kejadian aktual dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah-tengah persaingan beberapa stasiun televisi dalam membuat program berita yang paling menarik, Indosiar melihat peluang untuk menayangkan program berita yang belum pernah sebelumnya keseluruhannya memfokuskan pada tema kriminalitas.
Maka lahirlah program berita Indosiar bertema kriminalitas yang bertajuk "Patroli". 'First Criminal News' di Indonesia itu menyajikan bagaimana peristiwa kejahatan terjadi yang selalu up-date dan juga penanganan oleh pihak kepolisian dengan durasi setengah jam itu ternyata benar-benar berhasil merebut hati masyarakat. Apalagi acara Patroli itu berhasil mengemas adegan penangkapan penjahat yang dilakukan polisi menjadi program yang memikat, terutama jika operasi penangkapan itu disiarkan secara langsung. Belum lagi tayangan berita upaya penangkapan teroris yang selalu menarik diikuti.
Makalah ini pada dasarnya merupakan suatu kajian atas efek suatu media massa. Media massa dalam konteks Social Learning (dalam Effendi, Onong U, 1998), disebut sebagai salah satu sumber pembelajaran sosial anak, dan sebagai sarana sosialisasi nilai (McQuail, 2002). Melalui media, anak atau penonton pada umumnya mempelajari realitas kehidupan sosial masyarakat. Melalui proses peniruan (imitasi) dan modeling penonton belajar menyikapi realitas kehidupan sosial masyarakat ketika fenomena yang ditayangkan di televisi muncul dalam kenyataan hidup sehari-hari. Identifikasi atas persepsi masyarakat mengenai tayangan kriminalitas di televisi ini akan menjadi awal dari penelusuran atas dampak yang dirasakan masyarakat setelah diterpa tayangan kriminalitas di televisi.
Makalah ini bermaksud mencermati tayangan bertema kriminalitas di televisi, dan bagaimana persepsi masyarakat terhadap tayangan tersebut karena persepsi akan mengendap menjadi perilaku positif atau negatif. Oleh karena itu permasalahan dalam makalah ini adalah: Bagaimana dampak tayangan kriminalitas di televisi?
C. Tujuan
Seperti yang dinyatakan dalam salah satu konsideran Undang-undang Nomor: 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yakni: “bahwa siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap dan perilaku khalayak, maka penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsayang berlandaskan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, maka penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dampak tayangan kriminalitas di televisi, apakah akan berdampak positif atau negatif setelah diterpa oleh tayangan kriminalitas tersebut?
II. Pembahasan
A. Fungsi Media Massa
Dalam struktur masyarakat, media massa merupakan salah satu subsistem yang memiliki fungsi mediasi, artinya bahwa organisasi media mendistribusikan pesan yang mempengaruhi dan merefleksikan budaya masyarakat, serta menyajikan informasi secara simultan pada khalayak heterogen yang luas. Hal ini menjadikan media massa sebagai bagian dari kekuatan institusional masyarakat dengan fungsi-fungsi spesifik sebagai berikut:
· Edukatif, terkait dengan pendidikan, pewarisan nilai, normalisasi,
· Informatif, terkait dengan transfer informasi, komunikasi direktif dan lain-lain,
· Kontrol Sosial, terkait dengan fungsi pengawasan subsistem lain yang bertugas melayani publik,
· Hiburan, yaitu sebagai katarsis pelepas ketegangan
Dalam realitasnya tidak semua fungsi media massa yang disebutkan dapat diimplementasikan secara ideal.
B. Potensi Media Televisi
Televisi adalah merupakan salah satu contoh media massa yang potensial sekali, tidak saja untuk menyampaikan informasi tetapi juga membentuk perilaku seseorang, baik ke arah positif maupun negatif, disengaja ataupun tidak. Sebagai media audio visual TV mampu merebut 94 % saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. Televisi mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50 % dari apa yang mereka lihat dan dengar di layar televisi walaupun hanya sekali ditayangkan. Atau secara umum orang akan ingat 85 % dari apa yang mereka lihat di TV, setelah 3 jam kemudian dan 65 % setelah 3 hari kemudian.
Mengapa televisi diduga bisa menyulap sikap dan perilaku masyarakat? Televisi dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan lain sebagainya), tampaknya mempunyai sifat istimewa. Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar hidup (gerak/live) yang bisa bersifat politis, bisa, informatif, hiburan, pendidikan, atau bahkan gabungan dari ketiga unsur tersebut. Ekspresi korban kerusuhan di Ambon misalnya, hanya terungkap dengan baik lewat siaran televisi, tidak lewat koran ataupun majalah. Ratapan orang kelaparan di Ethiophia, gemuruhnya tepuk tangan penonton sepak bola di lapangan hijau, hiruk pikuknya suasana kampanye di bundaran Hotel Indonesia, tampak hidup di layar televisi.
Sebagai media informasi, televisi memiliki kekuatan yang ampuh (powerful) untuk menyampaikan pesan. Karena media ini dapat menghadirkan pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri dengan jangkauan yang luas (broadcast) dalam waktu yang bersamaan. Penyampaian isi pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan. Melalui stasiun televisi, acara pertandingan AC Milan melawan Juventus di Italia dapat langsung dinikmati pemirsa RCTI di Indonesia. Sungguh luar biasa, infomasi/kejadian di belahan bumi sana bisa diterima langsung di rumah. Televisi bisa menciptakan suasana tertentu, yaitu para penonton dapat melihat sambil duduk santai sambil menyaksikannya. Memang televisi akrab dengan suasana rumah dan kegiatan penonton sehari-hari.
Dari segi penontonya, sangat beragam, mulai dari anak-anak sampai orang tua, pejabat tinggi sampai petani/nelayan yang ada di desa bisa menyaksikan acara-acara yang sama melalui tabung ajaib itu. Melalui beberapa stasiun mereka juga bebas memilih acara-acara yang disukai dan dibutuhkannya. Begitu pula sebagai media hiburan, televisi dianggap sebagai media yang ringan, murah, santai, dan segala sesuatu yang mungkin bisa menyenangkan.
Televisi dapat pula berfungsi sebagai media pendidikan. Pesan-pesan edukatif baik dalam aspek kognetif, apektif, ataupun psiko-motor bisa dikemas dalam bentuk program televisi. Secara lebih khusus televisi dapat dirancang/dimanfaat-kan sebagai media pembelajaran. Pesan-pesan instruksional, seperti percobaan di laboratorium dapat diperlihatkan melalui tayangan televisi. Televisi juga dapat menghadirkan objek-objek yang berbahaya seperti reaksi nuklir, objek yang jauh, objek yang kecil seperti amuba, dan objek yang besar secara nyata ke dalam kelas. Keuntungan lain, televisi bisa memberikan penekanan terhadap pesan-pesan khusus pada peserta didik, misalnya melalui teknik close up, penggunaan grafis/animasi, sudut pengambilan gambar, teknik editing, serta trik-trik lainnya yang menimbulkan kesan tertentu pada sasaran sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.
Menurut pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat (1991), gambaran dunia dalam televisi sebetulnya gambaran dunia yang sudah diolah. Dalam hal ini Jalaludin Rakhmat menyebutnya sebagai tangan-tangan usil. yaitu antara lain:
· Tangan pertama yang usil adalah kamera (camera), gerak (motions), ambilan (shots), dan sudut kamera (angles) menentukan kesan pada diri pemirsa.
· Tangan kedua adalah proses penyuntingan. Dua gambar atau lebih dapat dipadukan untuk menimbulkan kesan yang dikehendaki. Sinetron Jin dan Jun di RCTI misalnya, seolah-olah mereka bisa masuk ke dalam tembok, berjalan di angkasa, berlari-lari di atas air, atau bisa menghilang, merupakan hasil ulah editor dalam proses penyuntingan.
· Tangan ketiga adalah ketika gambar muncul dalam layat televisi kita. Layar televisi mengubah persepsi kita tentang ruang dan waktu. Televisi juga bisa mengakrabkan objek yang jauh dengan penonton. Seorang penonton sepak bola di rumahnya berteriak kegirangan ketiga Ronaldo (Inter Milan) memasukan bola ke gawang Juventus. Memang televisi bisa menjadikan komunikasi interpersonal antara penonton dengan objek yang ditonton. Perasaan gembira, sedih, simpatik, bahkan cinta bisa terjalin tanpa terhalang oleh letak geografis nan jauh di sana.
C. Dampak Tayangan Kriminalitas di Televisi
Besarnya potensi media televisi terhadap perubahan masyarakat menimbulkan pro dan kotra. Pandangan pro melihat televisi merupakan wahana pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai positif masyatrakat. Sebaliknya pandangan kontra melihat televisi sebagai ancaman yang dapat merusak moral dan perilaku desktruktif lainnya. Secara umum kontroversial tersebut dapat digolongkan dalam tiga katagori, yaitu pertama, tayangan televisi dapat mengancam tatanan nilai masyarakat yang telah ada, kedua televisi dapat menguatkan tatanan nilai yang telah ada, dan ketiga televisi dapat membentuk tatanan nilai baru masyarakat termasuk lingkungan anak.
Tayangan-tayangan di televisi saat ini mempunyai kecendrungan mengabaikan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan. Hal ini terlihat dari ditonjolkannya eksploitasi sex, kekerasan, budaya konsumerisne dan hedonisme. Media massa baik cetak maupun elektronik seakan-akan berlomba dalam menayangkan adegan kekerasan (media violence), salah satunya dalam bentuk pemberitaan kasus kriminalitas (Patroli, Buser, Sergap, dan Fakta).
Tayangan berita kriminalitas memang mencengangkan karena ternyata digemari seluruh lapisan masyarakat, mulai sopir, tukang ojek, ibu-ibu rumah tangga, hingga anggota dewan dan pejabat. Acara berita kriminalitas itu digemari dan diperhatikan masyarakat karena tidak hanya menyajikan sejumlah kasus kriminal yang bersifat faktual namun kasus-kasus tersebut pun bisa hadir di tengah-tengah mereka. Tidak heran jika kesuksesan program "Patroli" pun diekori oleh program-program sejenis oleh stasiun-stasiun televisi lain di Indonesia.
Kenapa program "Patroli" begitu digemari? Ini karena tidak terlepas dari salah satu sifat dasar manusia sendiri, yaitu kebutuhan komunikasi. Harold D. Lasswell, salah seorang peletak dasar Ilmu Komunikasi menyebutkan salah satu faktor mengapa manusia perlu berkomunikasi karena adanya hasrat yang dimiliki manusia untuk mengendalikan lingkungannya. Melalui komunikasi itulah, manusia dapat mengetahui hal-hal yang dapat dimanfaatkan, dipelihara dan menghindar dari hal-hal yang mengancam alam sekitarnya.
Secara sederhana Onong Uchjana Efendi dalam bukunya Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (2003) menyebutkan komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media tertentu. Dalam hal ini adalah media televisi yang berperan sebagai media yang menyampaikan pesan atau informasi tertentu kepada para pemirsanya yang sebagai komunikan. Oleh karena itu, dengan mengetahui informasi seputar kriminalitas yang selalu terbarukan, para pemirsa Patroli dapat berjaga-jaga mengenai lingkungan sekitar mereka dari ancaman kejahatan. Ini merupakan sisi positif dari penyampaian berita seputar kriminalitas oleh televisi, namun ada yang mengkhawatirkan sisi negatifnya bagi masyarakat, yaitu bahwa tayangan kekerasan yang ditayangkan dalam acara Patroli dan sejenisnya di televisi lebih banyak memberikan dampak negatif daripada positifnya. Penayangan berita kriminalitas tidak memberikan informasi yang mendidik kepada masyarakat bahwa masyarakat akan takut melakukan kejahatan dengan menyaksikan adegan kejahatan di televisi. Media massa cenderung kian menginspirasi orang dalam melakukan kejahatan. Pelaku kriminalitas cenderung meniru praktik kejahatan lainnya melalui media massa. Indikasinya adalah munculnya gejala kemiripan kasus-kasus kriminalitas yang menonjol.
Perdebatan mengenai dampak penayangan kekerasan pada Tayangan Kriminalitas di Televisi terhadap peningkatan perilaku kekerasan pada khalayaknya, terutama anak-anak dan remaja, masih terus dibicarakan. Hal ini pun banyak didukung oleh berbagai penelitian yang mengkhususkan pada masalah media violence.
The National Institute of Mental Health di Amerika Serikat, misalnya, melaporkan bahwa hal penting akibat pemaparan kekerasan pada media massa adalah adanya hubungan antara tayangan kekerasan di media massa dan peningkatan perilaku agresif pada pemirsa atau pembacanya. Bukan tanpa alasan tayangan kekerasan dapat berdampak negatif terhadap khalayaknya, dikarenakan manusia adalah makhluk peniru, imitatif, dan banyak perilaku manusia terbentuk oleh proses peniruan. Perilaku imitatif ini terutama sangat menonjol pada usia anak-anak dan remaja, sehingga media massa yang banyak sekali menawarkan model untuk diimitasi atau dijadikan obyek identifikasi sangat penting peranannya.
Di samping itu, terdapat pula dampak penayangan kekerasan di media yang bersifat segera atau relatif sementara (immediate or relatively temporary effects), yang dapat berakibat pada individu dewasa dikarenakan efek media terhadap fungsi kognitif, afektif, dan perilaku (behavioral) pemirsanya.
The National Institute of Mental Health di Amerika Serikat, misalnya, melaporkan bahwa hal penting akibat pemaparan kekerasan pada media massa adalah adanya hubungan antara tayangan kekerasan di media massa dan peningkatan perilaku agresif pada pemirsa atau pembacanya. Bukan tanpa alasan tayangan kekerasan dapat berdampak negatif terhadap khalayaknya, dikarenakan manusia adalah makhluk peniru, imitatif, dan banyak perilaku manusia terbentuk oleh proses peniruan. Perilaku imitatif ini terutama sangat menonjol pada usia anak-anak dan remaja, sehingga media massa yang banyak sekali menawarkan model untuk diimitasi atau dijadikan obyek identifikasi sangat penting peranannya.
Di samping itu, terdapat pula dampak penayangan kekerasan di media yang bersifat segera atau relatif sementara (immediate or relatively temporary effects), yang dapat berakibat pada individu dewasa dikarenakan efek media terhadap fungsi kognitif, afektif, dan perilaku (behavioral) pemirsanya.
Kekerasan yang ditayangkan di media pada tayangan kriminalitas di televisi bentuknya bisa bervariasi, antara lain meliputi:
· Pertama, gambaran eksplisit tindakan kekerasan yang ditunjukkan melalui efek, sudut pengambilan kamera, musik latar atau tata lampu tertentu untuk menjadikannya terlihat hebat, heroik atau layak ditiru.
· Kedua, gambaran orang yang memiliki kekuatan sosial dan personal karena ia menggunakan senjata, atau menggunakan tubuh mereka sebagai senjata, dan mendominasi orang lain melalui ancaman atau tindakan kekerasan.
· Ketiga, tindakan kekerasan yang ditunjukkan sebagai cara yang lazim untuk menyelesaikan persoalan atau ditampilkan sebagai pendekatan utama dalam pemecahan masalah.
· Keempat, program berita yang secara eksplisit menyajikan detail pembunuhan dan pemerkosaan dengan informasi dan gambar yang sebenarnya tidak diperlukan untuk memahami pesan utamanya.
Kendati banyak penelitian yang menunjukkan bukti bahwa adegan kekerasan dalam film dan televisi meningkatkan kadar agresi penontonnya, ada beberapa teori yang menolak hasil-hasil penelitian tersebut. Teori ini menyatakan bahwa justru menonton adegan kekerasan dalam televisi merupakan bentuk penyaluran naluri agresi yang ada pada manusia. Teori ini diperkenalkan oleh Fesbach, yang disebut teori katarsis.
Studi Robert Coles, pakar psikiatri dari Universitas Harvard dan penulis buku The Moral Life of Children, menemukan bahwa situasi keluargalah yang menjadi variabel moderator hubungan antara tayangan tindak kekerasan di televisi dan perilaku tertentu pada anak-anak. Menurutnya, anak-anak dari keluarga yang kualitas hidupnya rendah, sangat rawan dan peka terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh siaran buruk televisi.
Studi Robert Coles, pakar psikiatri dari Universitas Harvard dan penulis buku The Moral Life of Children, menemukan bahwa situasi keluargalah yang menjadi variabel moderator hubungan antara tayangan tindak kekerasan di televisi dan perilaku tertentu pada anak-anak. Menurutnya, anak-anak dari keluarga yang kualitas hidupnya rendah, sangat rawan dan peka terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh siaran buruk televisi.
III. Penutup
Media televisi dapat menyajikan pesan/objek yang sebenarnya termasuk hasil dramatisir secara audio visual dan unsur gerak (live) dalam waktu bersamaan (broadcast). Pesan yang dihasilkan televisi dapat menyerupai benda/objek yang sebenarnya atau menimbulkan kesan lain. Oleh karena itu media ini memiliki potensi besar dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat. Sementara itu persaingan di antara stasiun televisi semakin ketat. Mereka bersaing menyajikan acara-acara yang digemari penonton, bahkan tanpa memperhatikan dampak negatif dari tayangan tersebut. Penonton televisi sangatlah beragam. Di sana terdapat anak-anak dan remaja yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi.
Alangkah lebih baik apabila para orang tua merenungi temuan Coles, bahwa jauh lebih penting menciptakan keluarga yang harmonis dibandingkan menyalahkan tayangan televisi, karena faktor keharmonisan keluarga bisa menangkal pengaruh negatif televisi. Di sini jelas perlu adanya keseimbangan antara keluarga (orang tua) dan pihak stasiun televisi. Keluarga dituntut untuk menjaga komunikasi dan menanamkan nilai serta norma agama pada anak. Begitupun para pengelola stasiun televisi hendaknya mempunyai tanggungjawab moral terhadap acara-acara yang ditayangkannya. Mereka hendaknya tidak sekedar mencari untung (kue iklan) terhadap acara yang ditayangkannya.
Tayangan Kriminalitas di Televisi harus diatur karena mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak khususnya bagi yang belum memiliki referensi yang kuat, yakni anak-anak dan remaja. Terlebih karena televisi bersifat audio visual sinematografs yang memiliki dampak besar terhadap perilaku khalayaknya seperti penganuh jarum suntik terhadap manusia..
Stasiun televisi merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Mereka mempunyai tanggungjawab untuk menjaga dan meningkatkan nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat, termasuk mendidik anak-anak.
Stasiun televisi merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Mereka mempunyai tanggungjawab untuk menjaga dan meningkatkan nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat, termasuk mendidik anak-anak.
Comments
Post a Comment